- Back to Home »
- PENA SAHABAT »
- AKU INGIN BERHIJAB SEPERTI KAKAK | VIA EVANDA
Posted by : Unknown
Minggu, 27 Juli 2014
Ada
segores pedih saat ku ukir namamu dik…, Perih. Seakan ribuan belati menusuk ke
hati, meninggalkan gumpalan sedih di lubang rasaku.. Penyesalan yang tak
berujung, yang membuatku merutuki diri ini yang begitu ego diri. Allah…, Ampuni
aku.. Adik, maafkan kakak….
Aku
mengenalmu pertama kali ketika kami masih berpakaian putih abu-abu, dan
berlanjut di tingkat kuliah. Aku masih teringat sinar matamu saat aku memasuki
kelasmu, dan kamu mengajak kami dan teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian di
sela waktu luang dalam sebuah majlis ilmu. Kajian Jum’at, yang rutin ku
jalankan bersama teman-teman akhwatku di Rohis.
Sayangnya,
sepertinya teman-temanmu tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan
waktunya dengan bergosip dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu berbeda.
Kamu terlihat istimewa. Kamu datang, dengan wajah penuh riang. Dik, sampai
sekarang aku masih ingat senyuman yang tak penah lepas dari wajahmu.
Senyuman
yang dapat menghilangkan segala penat dan lelahku karena tugas-tugas yang
menumpuk, program kerja di rohis yang begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan
yang begitu melelahkan. Tapi kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan
kami kakak-kakakmu untuk tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.
Kamu
semakin dekat pada kami, kamu begitu mudah menyerap segala pengetahuan yang
kami berikan kepadamu. Kamu cerdas dik. Mungkin karena belajar dengan hati,
kamu begitu mudah menerima kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu begitu lembut
dengan kebenaran… Allahu akbar, aku malu dik saat menyadari betapa banyak
kesombongan di hati ini, tak seperti kau yang sangat bersahaja.
Aku
mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat
dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu
yang cukup segan kepada kami.
Tapi
aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada
kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap di sela jam istirahat,
kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:
“Kak,
jangan bilang sama kak Iva yah, aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan
wajah penuh rahasia. Aku tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah
licik. Ha ha ha ( mb. Iva mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu
ini.
Tapi
ternyata aku salah, kau melakukan hal yang sama pada mb. Iva juga. Kami
tertipu, tetapi kami tetap senang. Begitulah caramu membuat kami merasa begitu
kamu cintai. Allah, begitu banyaknya dia mengajari kami. Hari itu kamu
mendatangiku, dengan wajah penuh semangat lebih dari biasanya. Kamu bertanya
kepadaku:
“Kak,
aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar ! aku
menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan Ade, serta
akhwat-akhwat yang lainnya.
Mereka
merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu
saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari
terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.
Beberapa
hari kemudian kamu datang dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang
dengan perubahanmu, bahkan mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini
ragu dengan pilihanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah sebaik-baik
penolong. Tak kan ada yang bisa menyakitimu dalam lindungan-Nya. Kamu menangis.
Kemudian
aku mengajakmu ke mushola. Kita shalat Dhuha, dan selesai shalat kamu berkata
mantap, “Aku mantap untuk memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau
penguasa hati makhluk-Mu…
Keesokan
harinya, kamu dengan jilbab lebarmu, dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku
memeluk dan menciummu dengan penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang
besemu merah, semua akhwat memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti,
semoga kamu terjaga dalam busana syar’i ini.
Kamu
pun smakin dekat padaku, sangat perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku
kamu tak datang menjengukku setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau
dalam kondisi sangat lelah.. Dik, kakak sangat bangga padamu..
Kamu
semakin aktif, semua amanah yang diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh
semangat. Bahkan, rasanya tanpa kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat sayang
padamu dik.
Tak
terasa 2 tahun kebersamaan kita…. Aku lulus, dan harus meninggalkan kampus kita
tercinta, meninggalkan Rohis MPM KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah
Kerukunan Remaja Mushallah Aliyah) yang kami rintis dari awal dengan penuh
perjuangan, akhwat-akhwatku, adik-adik mentorku, perjuangan kami. Aku harus
meninggalkan mereka semua.
Termasuk
kamu dik. Kamu menangis, kamu meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah,
kami berjanji akan lebih sering mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu
dan yang lain. Tapi, ternyata….
Semua
hanya janji, kami masuk dalam lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk,
terlebih aku mengambil fakultas paling sibuk di antara semua fakultas yang ada…
Aku tak menepati janji, Aku ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…
Aku
melupakanmu, aku mulai sibuk di lembaga dakwah kampusku, yang juga meminta
perhatian yang sangat besar. Kuliah-kuliahku, lab-labku yang membuatku tak
punya waktu untuk yang lain, termasuk padamu. Aku mulai melupakanmu, tapi kamu
sering sekali menelponku.
Yah…telpon-telponmu
dik... Allah, jika mengingat ini, sungguh penyesalanku seakan tak ada habisnya.
Kamu begitu sering menelponku, menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang
keluargamu yang semakin menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu,
tentang tidak adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.
Bahkan
terkadang, kamu meneleponku sampai dua jam. Dan aku yang begitu egois, mulai
bosan dengan semua keluhanmu. Aku yang terkadang begitu lelah dengan
rutinitasku, yang hanya mencuri waktu untuk istirahat, juga harus terganggu
dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…, aku mulai menghindarimu, tak ku jawab
telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun tidak marah. Ya Allah…
Suatu
hari, kamu datang ke rumah dengan wajah letih, tak ku temukan keceriaan itu
lagi. Ada yang aneh pada dirimu dik, aku sangat terkejut melihatnya…
Wajahmu
yang dulu penuh semangat dan selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya
mampu mengobarkan semangat orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda,
wajahmu begitu pucat, loyo, tanpa semangat hidup seperti dulu.
Tubuhmu
dik…, Allah… ada apa dengan dirimu dik ? Dulu kamu begitu gemuk menggemaskan,
dengan pipi tembem yang sangat lucu hingga matamu yang sipit akan semakin kecil
saat dirimu tersenyum.
Dulu
kami (akhwat-akwhat) di Rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan
membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk… tapi
kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? Ini memang pertemuan pertama
kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya berkomunikasi melalu telepon..
Dulu
setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku,
bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku
selalu menjadi pendengar setiamu… tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung
tanpa berkata apa-apa….
Saat
ku tanya kamu dari mana ? Kamu hanya menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya
kebetulan lewat setelah pulang tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik,
tahukah kau, betapa banyak yang ingin ku tanyakan kepadamu? Tapi aku tak ingin
menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Jadi ku biarkan saja kamu
dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku menatap wajahmu yang teduh
dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?
Lalu
kamu pun pamit, pergi tanpa sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….
Aku
kembali dalam duniaku, Kuliahku, labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya Rabb, aku
kembali melupakanmu dik, hingga kemudian aku menerima sebuah telepon dari
temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1 minggu dia tidak masuk sekolah, kayaknya
parah, kalau bisa kakak sempatkan waktu untuk menjenguknya, dia selalu
menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang lain.” aku tercenung di ujung telepon,
tak tahu harus berbuat apa..
Saat
aku dan akhwat-akhwat lain tiba di rumahmu, segera kami ke kamarmu, kamar
sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku baru kali ini ke rumahmu dik. Rabb, aku
baru menyadari betapa aku tidak memperhatikan saudaraku yang memberiku
parhatian luar biasa selama ini.
Hatiku
perih melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang
berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar, dadaku
sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..
Aku
mendekatimu, kamu berusaha tersenyum tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan
sakit. Aku mencoba menahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat
yang lain pun melakukan yang sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu,
ku raih dan ku genggam tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai
cerita lucu, kamu tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini.
Di
lubuk hati terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau ingin
menahanku, maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih lama dalam
kesakitanmu…
Aku
mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan
kembali ku temukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping,
kau menderita kanker kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya
biaya, kamu hanya di bawa ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di
keluarkan karena tak punya biaya…
Rabbana,
apa gunaku selama ini, inikah ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini?
inikah ikatan persaudaraan bagai satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam
setiap majelis yang aku bawakan? Inikah kasih sayang yang aku serukan? Tidak,
aku harus melakukan sesuatu untukmu dik…
Saat
itu segera aku bertanya kepada kakakku, dan katanya aku harus mengambil surat
keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat secara
gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti
kembali…
Aku
kembali menjengukmu dik bersama Hilda dan Uphi serta beberapa akhwat lain. Aku
belum berhasil menyelesaikan urusan surat miskin itu, ternyata harus dengan
berbagai macam prosedur, tapi aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin
memburuk. Aku memelukmu dan dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?”
kamu tersenyum..
Aku
terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa melihatku ? kamu
tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya di kencengin yah, aku
sudah tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”
Tubuhku
bergetar, aku tahu wajahku pucat pasi saat itu, aku pun tak bisa membendung
tumpahnya air mataku, aku menangis. Para akhwat menarikku menjauh darimu. Dalam
pelukan akwat, aku tumpahkan segala rasaku, sedihku, penyesalanku, dan
ketakutanku… aku takut kau tak mampu bertahan dik… sungguh aku sangat takut
kehilanganmu.
Tiba-tiba
kamu tidak sadarkan diri, tak lama kemudian kamu siuman lagi, begitu
seterusnya…
Allah,
kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan
ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup
mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada
tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu
tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di
pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu,
yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?
Aku
mendekatkan bibirku ke telingamu, aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau
tidak. Aku bisikkan kalimatullah. Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha
illallaah…laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu berkata
“Allah…Allah..”
Rabbana
inikah sakaratul maut… sesakit inikah…??? Ya Rabbal Izzati… Allahummagfirlaha,
Allahummarhamha… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat Subuh,
yang kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku
berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan selesai
hari ini, aku sangat bersemangat.
Kamu
akan segera di rawat dik. Saat baru saja aku hendak mandi, telepon berbunyi,
ternyata dari ukhti Uni, mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku
mau, tapi aku salah, berita yang aku terima sungguh sangat membuatku
terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi wa innailaihi roji’un”
Aku
tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu ngomong apa sih ? Ada apa ? Ngomongnya
jangan nangis gitu dong…?” kataku mencoba menenangkan diri .
“Diana
ukh, dia sudah nggak ada, dia meninggal tadi malam jam 01.00, Kita doakan yah..
nanti kita sama-sama melayat ke rumahnya”
Rabbana…
aku terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku
yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang terus memanggilku dan
terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk.. menangis.. aku tumpahkan segala
kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketakpedulianku, keegoisanku…
Wajahmu
terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku
terus menangis…
Baru
saja jenazahmu di bawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri.
Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat mencintaimu, dia yang
merawatmu selama kamu sakit. Dik, begitu banyak orang yang datang melayatmu,
menghantar jenazahmu, mensholatimu.. .aku hanya bisa diam menatap iringan membawamu
ke tempat pembaringanmu meninggalkan kami…
Dik,
kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu, tak akan ada lagi
telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan hingga kini ku rindukan dan selalu ku
nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat
kejutan rasa cintamu pada kami… Tak ada lagi cerita-ceritamu tentang
masalah-masalahmu yang kini dan hingga kini selalu ku nantikan dan ku tahu
hanya berbalas kecewa.
Dik,
maafkan kakak, Semoga kau tenang disana, semoga kau dapat menahan himpitan
kubur yang kita semua akan merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah kuburnya,
terangilah dengan cahaya-Mu, jauhkanlah dia dari adzab kubur… Bukakanlah pintu
jannah-Mu, sungguh dia adalah mujahidah-Mu, dia adalah tentara yang
memperjuangkan agama-Mu..
Ku
tahu saat ini begitu banyak dari kami menangisi kepergianmu mujahidah, namun
aku pun yakin, ribuan penduduk langit bersorak menyambut kedatanganmu dan
ribuan malaikat menaungimu dalam hamparan sayapnya… dalam kedamaian di sisi
Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..
“Kak,
apa aku juga bisa disebut mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…
“Tentu
saja dik, setiap orang yang memperjuangkan agama Allah dan mati dalam keyakinan
pada-Nya adalah seorang mujahid-mujahidah.” …
“Kak,
aku mau berjilbab lebar seperti kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?”
…katamu tersenyum malu…
“Kau
akan sangat cantik dengan busana syar’i dik, masih adakah yang lebih penting
dari kecantikan di mata Allah…?”
….Kau
tertawa…
“Aku
mauuuuu cantiiik di mata Allah…” …Tertawa riang….
***
Untuk adikku Diana tenanglah disana, dalam perlindunganNya, tak akan ada yang
mampu menyakitimu dik…”
Wallahu
a'lam bishshawab, ..
Via Evanda
SMAN 1 Subang
@evendaav
SMAN 1 Subang
@evendaav
tulisan yang inspiratif
BalasHapus