Sahabat FAROS sejati dimana pun kalian berada kali ini kita punya artikel
yang menarik nih.. kamu penasaran ? harus penasaran dong pastinya, ..loh kenapa ? karena artikel ini dijamin
insyaallah sangat bermanfat buat kalian semua , udah ya kebanyakan basa-basi
langsung aja nih (baca yang khusyu yaa) J
dakwatuna.com
– Malam-malam
kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu di bawah lantunan kalam ilahi dari para
imam-imam tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut
dalam tahajjud panjang, lalu merengguh keberkahan sahur, sembari dzikir dan
istighfar di sela-sela sisa waktunya.
Saat Subuh
tiba, shaf-shaf di masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu subuh di luar
Ramadan. Selepas shalat, sebagian makmum lebih memilih duduk berdzikir menanti
syuruq, mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan
dengan mengerjakan shalat sunah dua rakaat.
Shalat kita
pun tak seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jamaah di masjid.
Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di masjid
untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.
Sore kita,
tak lagi disibukkan dengan dzikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik
mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua ganjaran
kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa kita menjadi
wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan
hari ini, pasca Ramadan? Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat
selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadan?
Ada
kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “Kun rabbâniyyan, wa
lâ takun ramadhâniyyan” Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya
karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak
akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertaqwa. Namun jadilah
manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada
Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa tanpa batas, sesuai target
yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama sebulan. Dengan
syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadahnya terus meningkat,
sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.
Para sahabat
menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung
bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time
selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita
ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik
mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika
harus berpisah dengannya.
Hal yang
sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung Ramadan, mereka tak gembira
dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi
mereka justru bersedih, karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan
mereka.
Mâ ba’da
Ramadhân, inilah
masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan
amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang berulang kali
khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan perang ke perang
lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama
Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri
mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda
tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah
Swt.?”
Para sahabat
merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’.
Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit,
akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia.
Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan
Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta
jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.
Enam bulan
pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadan. Mereka
memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu
diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali
bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang
selalu mereka rindu.
Begitulah
siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke
Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua
celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan,
pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan
penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam
kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du:28).
Mereka
memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan kita,
sudahkah ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin
kalau amalan Ramadan kita diterima? Ittaqullâh yâ ahibbâ’i, ibadah kita
pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga
rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar
ketimbang mereka.
Walhasil,
shalih pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy,
kita sudah men-charger diri kembali. Battery full yang
kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.
Ramadan
memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari
sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas bulan ke depan, tak ada
puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi tapi Masih ada puasa lainnya, seperti
puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa ‘Arafah, ‘Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul
lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Shalat sunnah ini menempati posisi
kedua setelah shalat fardhu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.,
“Shalat yang paling utama sesudah shalat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun
‘alaih). Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi
dari orang-orang shalih.
Amal ibadah
yang menjadi rutinitas kita selama sebulan Ramadan diharapkan memang sudah
menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadan telah berakhir, kita tak
mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung masih hangat aura Ramadan
kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali rutinitas baik kita itu.
Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan, sekali pun sedikit, yang
penting kita memiliki amalan andalan dan rutin menjalankannya. Karena barang
siapa yang memiliki amalan rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami
kerugian, sekalipun ia terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dituliskan, bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian maka
dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia sehat dan tidak
bepergian.” (HR. Bukhari).
Semoga kita
tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free
di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy,
yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti
karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.”
(QS. Al Imran: 191). Wallâhu al Musta’ân.